Penanganan perkara pidana terhadap anak memiliki perbedaan dengan penanganan perkara pidana terhadap orang dewasa
Inspirasi Wanita Nusantara Indonesia – Shinta Istiqomah Sholemede adala ketua umum dari IWANI yang notabene bergerak dalam perlindungan anak dan peduli UMKM sebagai motorik dari kaum hawa dan anak anak.
Dalam landasan berfikir kepedulian terhadap perempuan perempuan hebat lahirlah pergerakan organisasi Iwani.
Perlindungan terhadap anak telah diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34 yang berbunyi bahwa negara memberikan perlindungan kepada fakir miskin dan anak-anak terlantar. Di dalam deklarasi hak-hak anak disebutkan pula bahwa anak karena ketidakmatangan fisik dan mentalnya, membutuhkan perlindungan dan perawatan khusus, termasuk perlindungan hukum yang layak sebelum dan sesudah dilahirkan.
Kehidupan yang semakin kompleks dan beraneka ragam dari arus globalisasi menyebabkan pengaruh positif dan negatif terhadap kemajuan zaman yang diikuti oleh perubahan perilaku manusia. Perilaku negatif yang tidak sesuai dengan norma sosial dianggap sebagai masalah sosial oleh masyarakat.
Perilaku yang melanggar norma ini tidak hanya bisa dilihat pada masyarakat dewasa, namun anak-anak pun tidak luput dari perilaku yang menyimpang dan tidak jarang melanggar hukum. Ada banyak faktor mengapa anak-anak melakukan tindakan kriminal sehingga melanggar hukum, bahkan tak sedikit anak-anak di bawah umur yang di penjara.
Kasus anak berhadapan dengan hukum hampir terjadi di setiap daerah. Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak Daerah (KPPAD) Kalimantan Barat (Kalbar), misalnya, mencatat ada 294 kasus anak berhadapan dengan hukum (ABH) sepanjang 2021. Kota Pontianak mencatat kasus ABH tertinggi yakni 147 kasus. (Baca Juga: Perlunya Ruang Aman di Lingkungan Kampus Cegah Tindakan Kekerasan Seksual)
“Untuk Kota Pontianak ada sebanyak 147 kasus yang kami terima dan ditangani, dari jumlah itu sebanyak 59 merupakan kasus ABH,” kata Ketua KPPAD Kalbar, Eka Nurhayati Ishak, seperti dilansir Antara di Pontianak, Jumat 17 Desember 2021 lalu.
Kasus ABH di Pontianak di antaranya adalah pornografi, cybercrime, human trafficking, eksploitasi hak anak, dan pengasuhan keluarga. Selanjutnya adalah Kubu Raya dengan 74 kasus, Sambas 29 kasus, Bengkayang 11 kasus, Singkawang 9 kasus, Mempawah 6 kasus. Berikutnya, Sanggau dan Sintang masing-masing empat kasus, Landak tiga kasus, Ketapang dua kasus, Kapuas Hulu dan Kayong Utara masing-masing satu kasus.
Perlu diketahui, penanganan perkara pidana terhadap anak memiliki perbedaan dengan penanganan perkara pidana terhadap orang dewasa. Penanganan perkara pidana terhadap anak diatur sendiri di dalam peraturan yang mengaturnya. Ada beberapa ketentuan yang mengatur terkait dengan penaganan anak yang berhadapan dengan hukum, yaitu Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak.
Kemudian Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah (PP) No.65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang belum berumur 12 tahun, Peraturan Mahkamah Agung No.4 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dan Peraturan Jaksa Agung No.06/A J.A/04/2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi.
Seluruh peraturan tersebut melalui proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum mulai dari tahap penyelidikan hingga tahap pembimbingan. Dalam sistem peradilan pidana anak, yaitu anak yang berkonflik dengan hukum yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Dalam hal tindak pidana yang dilakukan oleh anak sebelum berumur 18 tahun, ia akan diajukan sidang ke pengadilan setelah anak tersebut melampaui batas umur 18 tahun tetapi belum mencapai umur 21 tahun, maka ia tetap diajukan ke sidang anak sesuai dengan Pasal 20 UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Peradilan pidana anak diatur dalam Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyimpang dari KUHP. Mengingat anak memiliki kekhususan yang tidak bisa disamakan dengan orang dewasa, untuk itu perlu penanganan khusus dengan memperhatikan kepentingan anak, sehingga anak sebagai pelaku tindak pidana tidak dirugikan secara fisik maupun mentalnya.
Jangan sampai peribahasa yang mengungkapkan sudah jatuh tertimpa tangga, menggambarkan nasib anak-anak yang dipenjarakan, lalu tidak memiliki masa depan setelahnya. Hal ini seperti dikeluarkan dari sekolah yang menimpa remaja RJ yang berusia 16 tahun yang menghina Presiden Joko Widodo, kasus ZL remaja 17 tahun yang membunuh begal atau seperti kasus remaja X yang menjadi korban kurir narkotika.
Undang-Undang No.3 Tahun Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merupakan ketentuan khusus bagi anak yang melakukan tindak pidana. Dalam Undang-Undang ini dijelaskan bahwa pelaku tindak pidana anak usia hingga 18 tahun diperlukan tata cara pengadilan sendiri yang tidak sama dengan peradilan orang dewasa.
Pembedaan ini memiliki tujuan, yaitu untuk memberikan perlindungan bagi perkembangan psikis bagi anak-anak yang memiliki masa depan yang masih panjang. Sehingga terhindar dari anggapan anak yang menganggap kasus dirinya sama menyeramkannya dengan kasus pidana orang dewasa.
Berdasarkan Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tersebut, dapat dikatakan bahwa perlakuan terhadap anak yang melakukan tindak pidana memiliki ketentuan; setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orangtuanya, kecuali jika ada alasan dan aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak.
Hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan orangtuanya tetap dijamin oleh undang-undang. Selanjutnya anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
Selanjutnya, hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak-anak. Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir. Terakhir, setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan keutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dengan orang dewasa, kecuali demi kepentingannya.
Selain adanya perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana, narapidana anak harus mendapat pemenuhan hak narapidana anak, yaitu hak tumbuh dan berkembang, hak berpartisipasi, hak pendidikan, hak makan dan minum dan hak tempat tinggal.
Narapidana anak juga perlu mendapatkan pembinaan sosial untuk mengembangkan pribadi dan hidup masyarakanya. Aktivitas yang bisa dilakukan oleh narapidana anak adalah dengan memfasilitasinya bimbingan tentang hidup bermasyarakat yang baik dan memberitahukan norma-norma agama, kesusilaan, etika pergaulan dan pertemuan dengan keluarga korban untuk memelihara hubungan batin.
Dengan mendapatkan berbagai pembinaan berdasarkan perlindungan narapidana anak, maka narapidana anak diharapkan bisa menentukan dan mendapatkan kembali jati diri alamiahnya sebagai manusia yang hidup dan mempunyai tujuan hidup yang lebih baik.